Halaman

Senin, 06 Januari 2020

Pengembangan Sumber Daya Kelautan Dalam Industri Maritim Dunia

Indonesia memegang peran penting dalam industri maritim dunia. Salah satunya melalui penyediaan 
pelaut untuk pasar utama perekrutan kru pelaut di Eropa, Amerika Utara, dan Timur Jauh. Dalam hal kualitas,  pelaut Indonesia berada di level yang sama dengan pelaut Filipina, India, Vie tnam, Sri Lanka, Bangladesh,  dan negara lainnya yang menyediakan pelaut karena pusat pelatihan pelaut di Indonesia sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO) yang tertulis dalam Standard of Training, Certification, and Watchkeeping for Seafarers (STCW) 1995.

Pasar kru pelaut di dunia meningkat selama dua puluh tahun terakhir karena generasi muda di negara pasar kehilangan keinginan untuk menjadi pelaut pedagang. Mereka lebih suka bekerja di darat karena bahaya yang lebih kecil daripada bekerja di laut.

Namun dalam kenyataannya, para pelaut Indonesia kesulitan meraih kesempatan karena terdapat kekurangan  pada individu dan institusi. Masalah individu terdapat pada kompetensi pelaut dalam menjalankan tugasnya di  atas kapal. Sementara pada aspek kelembagaan, Indonesia berhadapan dengan kebijakan dan peraturan yang  diterapkan oleh pemerintah untuk mendukung sektor ini. 


ABSTRACT

Indonesia plays important roles in the world‟s maritime industry. One of them is providing sailors for the main  nmarket of sailor crew recruitment in Europe, North America, and the Far East. In terms of quality, Indonesian sailors are on the same level as sailors from the Philippines, India, Vietnam, Sri Lanka, Bangladesh, and other countries which 
provide seafarers for training centers for sailors in Indonesia in accordance with the requirements set by the  International Maritime Organization (IMO) written in the Standard of Training, Certification, and Watchkeeping for  Seafarers (STCW) 1995.

The market of sailor crew in the world has increased over the last twenty years because the  younger generation in the market country have lost their desire to become a merchant seaman. They prefer to work on  land because the danger is smaller than the work at sea.

However, in reality the Indonesian sailors are facing difficulty to  seize the opportunity because of the weakness of the individuals and institutions. Individual issues deal with the competence of seafarers in carrying out their duties on board. In terms of institutional aspect, Indonesia is facing policies  and regulations adopted by the government to support the sector.



PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan  luas wilayah yang besar. Sekitar 70% luas  negara Indonesia merupakan laut yaitu seluas 5,8 juta km2 dengan panjang garis pantai kedua terpanjang di dunia setelah Rusia yaitu sepanjang 95.181 km. Melihat kondisi geo-grafis tersebut, lautan Indonesia memilikisumber daya yang sangat besar untuk diman-faatkan.

Sumber daya tersebut dapat berupa kelimpahan alam seperti ikan, biota laut, maupun minyak dan gas. Selain itu, laut juga merupakan penghubung antarpulau yang ada di Indonesia sehingga opsi transportasi yang dapat digunakan oleh masyarakat Indonesia bertambah. Oleh karena itu, tidak dapat 
disangsikan lagi bahwa masyarakat Indonesia 
banyak yang bekerja di atas kapal.

Menjadi pekerja di atas kapal atau lazim dikenal sebagai pelaut, sejatinya telah sejak lama dijalani oleh manusia Indonesia. Berdasarkan berbagai catatan sejarah yang berhasil ditemukan di berbagai wilayah di tanah air maupun di luar negeri, ribuan tahun lalu pelaut Indonesia telah berlayar mengarungi samudera luas sampai ke Madagaskar dan Afrika Selatan.

Indonesia juga memiliki legenda mengenai para pelaut di Kepulauan Riau seperti Hang Tuah, Hang Nadim, Hang Jebat, Hang Lekiu, dan Hang Lekir. Dengan pengetahuan kelautan yang ada dan alat 
bantu navigasi sederhana, mereka telah melayari berbagai perairan di daerah tersebut.

Masih banyak cerita dari daerah lain di Indonesia yang menggambarkan para pelaut dan kehidupan yang mereka miliki. Di atas itu semua, Indonesia memiliki lagu yang menggambarkan karakter utama negeri dengan syair yang terkenal “nenek moyangku seorang pelaut.” 


Lagu tersebut memiliki makna bahwa Indonesia memiliki latar belakang kepelautan yang kuat. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa generasi selanjutnya siap dengan warisan keberanian bangsa Indonesia sebagai pelaut. Kini, dilihat dari sudut pandang jumlah, angkatan kerja pelaut, terutama 
mereka yang berasal dari suku yang selama ini 
subur menghasilkan pelaut seperti Bugis dan 
Manado, mengalami penurunan.

Namun, tidak ada data yang bisa dirujuk untuk menggambarkan penurunan yang terjadi karena 
kewenangan dalam mengatur pelaut di Indonesia tersebar ke berbagai instansi pemerintah. Jika data antarinstansi digunakan, untuk satu kategori saja sangat bervariasi sehingga bisa menimbulkan anarki statistik yang cukup parah.


Para pelaut menekuni profesi ini di negeri lain karena di dalam negeri tidak banyak lowongan yang tersedia akibat minimnya jumlah kapal berbendera Indonesia. Selain itu kesejahteraan yang ditawarkan oleh operator kapal asing jauh lebih baik dibanding kapal milik pengusaha domestik.

Hal ini terjadi karena pengusaha lokal masih berkutat dengan strategi bertahan hidup di tengah serbuan berbagai kapal asing.Hanafi Rustandi, Presiden Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI), mengungkapkan bahwa pilihan angkatan kerja Indonesia untuk menekuni profesi pelaut di luar negeri diiringi oleh satu kenyataan bahwa generasi 
muda di Amerika Serikat, Inggris, Denmark, dan Jerman yang memiliki perusahaan pelayaran besar seperti P&O, Maersk, dan Hapag Lloyd sudah enggan bekerja di laut.

Mereka lebih memilih bekerja di darat dengan gaji yang jauh lebih besar daripada pendapatan seorang pelaut. Yang paling penting, mereka tidak perlu meninggalkan keluarga untuk waktu yang cukup lama. Dengan kata lain, pelaut Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk bekerja di kapal asing.

Namun, tidak ada informasi atau data statistik yang dapat digunakan sebagai rujukan sehingga peluang 
yang terbuka luas itu, baik untuk rating dan officer, belum bisa dimanfaatkan oleh pelaut Indonesia secara maksimal. Dari penjelasan sebelumnya, terdapat banyak permasalahan dalam penempatan pelaut Indonesia di kapal luar negeri sehingga peluang yang tersedia belum membuahkan hasil yang signifikan.

Apakah permasalahan-permasalahan itu? Tulisan ini mencoba mengemukakan berbagai masalah yang 
muncul dalam sektor kepelautan di Indonesia.
Kedua, karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 185 concerning Revising the Seafarers Identity Documents Convention 1958 melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008/Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 1, perlu dibuat sebuah peraturan perundang-undangan mengenai pelaut. (Di Filipina dikenal dengan istilah the Law of Seamen, yang antara lain memuat tata tertib bekerja sebagai pelaut.

Melalui peraturan perundang-undangan ini diharapkan pelaut-pelaut Indonesia dapat memenuhi suatu standar tertentu sehingga memiliki nilai dan kualitas yang baik. 

Ketiga, perlu dipikirkan pembentukan sebuah lembaga pusat pelaut (seamen center) yang harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Hal ini 
untuk mempermudah manajemen pembinaan tenaga kerja pelaut, mulai dari akomodasi, kesehatan, hingga bantuan hukum.

Pendanaan untuk mendirikannya bisa sharing antara KPI, pemerintah daerah, dan pengusaha properti. Lembaga pusat pelaut (seaman center) dapat memberikan jaminan yang kuat dalam pendistribusian pelaut-pelaut Indonesia karena pelaut akan bekerja dalam suatu kerangka yang sistematis.


Wacana seamen center menarik dibahas mengingat sampai saat ini Indonesia belum memiliki fasilitas 
tersebut padahal pelaut Indonesia sangat membutuhkannya. Data BIMCO (2014) memperlihatkan terdapat 77.727 pelaut Indonesia yang bekerja di kapal asing.

Hampir sebagian besar naik atau turun melalui seamen center di Singapura. Praktik ini ikut membangun citra Singapura sebagai maritime center di kawasan Asia Pasifik.

Keempat, perlu segera ditetapkan upah minimum untuk pelaut. Menurut International Transportworkers Federation (ITF), kerja pelaut sangat berat sehingga memerlukan kondisi kerja 
yang berbeda dengan pekerja sektor lainnya. Kapal layaknya satu pabrik. Namun, ia bergerak terus mengarungi samudera dengan menembus badai, menerjang ombak, dan kadang dihadapkan dengan 
gerombolan perompak.

Pekerja di atasnya tentulah akan sangat terpengaruh dengan kondisi tersebut, baik fisik maupun mental.ITF telah memberikan standar untuk pengupahan pelaut, yakni US$1.500. Nominal ini diberikan untuk pelaut dengan pangkat perwira, sementara untuk pangkat terendah atau AB (able-bodied seamen) berkisar antara US$500 dan US$600.


Selain upah minimum, para pelaut harus juga dilindungi oleh asuransi. Besarnya sangat bergantung pada pangkat mereka. Jika standar upah minimum untuk pelaut bisa diterapkan, profesi pelaut akan dilirik dan menjadi pilihan generasi muda Indonesia yang saat ini masih banyak yang 
menganggur.

Mereka akan melihat pekerjaan ini cukup menjanjikan karena gajinya lumayan besar. Jika generasi muda Indonesia berbondong-bondong menjadi pelaut, negara ini akan menjadi negara 
maritim yang betul-betul punya jati diri yang bisa dibanggakan.



DAFTAR PUSTAKA
Kamaluddin, Laode M. (2002). 
Pembangunan Ekonomi Maritim di 
Indonesia, Jakarta: Penerbit PT 
Gramedia Pustaka Utama.
Kusumastanto, Tridoyo. (2003). Ocean 
Policy Dalam Membangun Negeri 
Bahari di Era Otonomi Daerah. 
Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka 
Utama
Soegeng, Wartini. (2003). Kebangsaan 
Kapal Indonesia. Jakarta: PT Refika 
Adit
http://www.antaranews.com/berita/109600
/indonesia-serahkan-
instrumen-ratifikasi-konvensi-ilo-no-
http://beritatrans.com/2014/05/01/dirjen-
bobby-77-727-pelaut-
bekerja-di-kapal-asing/

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net